Powered By Blogger

Minggu, 12 September 2010

ASKEP HEPATITIS

A. Konsep Dasar Penyakit
1. Anatomi dan Fisiologi
Hepar adalah kelenjar yang paling besar dalam tubuh manusia dengan berat 1500 gram atau 1,5 kg. Bagian superior dan hepar cembung dan terletak di bawah kubah kanan diagfragma. Bagian inferior hepar cekung dan di bawahnya terdapat ginjal kanan, gaster, pankreas, dan usus (Mary Baradero, dkk, 2008: 1).
Hepar terbagi dalam dua lobus (bagian utama) dimana lobus kanan (hepatic dextra lobe) berukuran lebih besar dari pada lobus kiri (hepatic sinistra lobe). Dua lobus tersebut dibagi menjadi empat lobus, yaitu lobus kanan (dextra lobe), lobus kiri (sinistra lobe), lobus kaudatus (caudate lobe), dan lobus kuadratus (Fransisca B. Batticaca, 2009: 2).


Gambar 2.1. Pembagian lobus dalam hepar
(http://www.google.com/gambar/anatomi hati.co.id, 2009)
Hepar menerima dua macam darah yaitu darah yang kaya dengan oksigen melalui arteria hepatika dan darah yang mengadung lebih banyak karbon dioksida melalui vena porta (Mary Baradero, dkk, 2008: 3).

Gambar 2.2. Struktur dasar lobus hati memperlihatkan lempeng sel hati, pembuluh darah, sistem saluran empedu, dan sistem aliran limfe yang terdiri dari ruang disse dan saluran limfe interlobulularis.

Hepar adalah tempat penyimpanan utama dari tubuh. Hepar menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen dengan bantuan enzim-enzim glikogen yang dapat diubah menjadi glukosa ketika tubuh memerlukannya. Oleh karena glukosa merupakan sumber energi utama, penyimpanaannya sangat penting.
Hepar juga menyimpan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak seperti A, D, E, dan K, serta mineral-mineral seperti zat besi. Hepar juga dapat menyimpan lemak dan yang dapat diubah menjadi glukosa jika tubuh memerlukannya.
Salah satu fungsi utama hepar sebagai alat pencernaan adalah menyekresi empedu. Empedu adalah cairan yang basa; mengandung garam empedu, pigmen empedu, kolestrol.
Hepar menyekresi sebanyak 1 liter empedu setiap hari. Pigmen empedu memberi warna pada empedu dan feses, empedu masuk ke duodenum serta membantu dalam pencernaan dan absorpsi lemak (Mary Baradero, dkk, 2008: 4).

Gambar 2.3. Hepar dalam sistem pencernaan.

Hepar terletak pada rongga perut kuadran kanan atas. Selain merupakan organ terbesar, hepar juga memiliki banyak fungsi yang rumit dan bergam. Hepar sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan penting pada hampir setiap fungsi metabolisme tubuh.
Menurut Wening Sari, dkk (2008: 11), fungsi utama hepar antara lain sebagai berikut:
a. Fungsi Metabolisme
Metabolisme merupakan proses mengubah struktur suatu zat menjadi zat lain yang mempunyai sifat yang sama menyerupai, atau bahkan berbeda dengan zat itu sebelumnya. Perubahan struktur dapat berupa pembentukan atau penguraian. Hepar berfungsi dalam proses metabolisme berbagai zat yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral.

1. Karbohidrat
Hepar mengatur metabolisme karbohidrat melalui pembentukan, penyimpanan, dan pemecahan glikogen (suatu bentuk karbohidrat yang siap digunakan oleh tubuh).
2. Lemak
Hepar berperan dalam sintesis, menyimpan, dan mengeluarkan lemak untuk distribusikan ke seluruh tubuh. Hepar juga memproduksi empedu sehingga makanan yang berlemak dan mengandung vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat diserap oleh usus halus.
3. Protein
Protein sintesis dan penghancuran protein terjadi dihepar.
4. Vitamin dan Mineral
Semua vitamin yang larut dalam lemak disimpan di dalam hepar. vitamin A, D, dan K terdapat dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan vitamin E dalam jumlah kecil. Sebagian besar zat besi juga disimpan hati sebelum dibutuhkan oleh tubuh.
b. Fungsi Sintesis
Sintesis adalah penyusunan atau pembuatan suatu senyawa, dari zat atau molekul yang sederhana menjadi senyawa yang kompleks. Adapun contohnya sebagai berikut:
1. Hepar berperan dalam sintesis atau pembuatan protein dan lipoprotein plasma. Protein ini antara lain adalah albumin, globulin, dan berbagai enzim.
2. Sintesis dan sekresi empedu.
c. Fungsi penetralan zat-zat kimia
Penetralan zat-zat kimia adalah perubahan sifat suatu zat karena proses metabolisme yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur zat tersebut. Sel-sel hepar kaya akan berbagai enzim yang membantu dalam metabolisme zat kimia, misalnya obat.
1. Hepar mempunyai kemampuan menetralkan atau mendetoksifikasi zat-zat kimia, seperti obat racun, maupun hasil metabolisme. Dengan demikian, zat-zat tersebut menjadi lebih mudah dikeluarkan melalui urin dan tidak terakumulasi di dalam tubuh.
2. Tempat mendaur ulang sel-sel darah merah yang telah usang.
Kapiler empedu dan kapiler darah di dalam hepar saling terpisah oleh deretan sel-sel hepar sehingga darah dan empedu tidak pernah tercampur. Namun, jika hepar terkena infeksi virus seperti hepatitis, sel-sel hepar bisa pecah dan akibatnya darah dan empedu bercampur. Bilirubin (pigmen empedu) yang meresap ke dalam darah akan melekat pada jaringan kulit dan sklera mata sehingga menyebabkan kulit dan bagian putih mata (sklera) menjadi kuning. Bilirubin yang berlebihan dalam darah tersebut sebagian keluar dalam air kemih sehingga warna air kemih lebih gelap seperti teh.
Adapun menurut H. M. Hembing Wijayakusuma (2008: 2), hepar juga mempunyai peranan besar dan memiliki lebih dari 500 fungsi. Berikut ini fungsi-fungsi utama hepar:
1. Menampung darah
Dalam hepar terdapat pembuluh darah balik (vena) dan sinusoid (saluran darah berbanding tipis dan berongga luas). Sinusoid dapat menampung darah antara 200-400cc. Hepar yang menampung darah banyak darah akan teraba membesar.
2. Membersihkan darah untuk melawan infeksi (pertahanan tubuh)
Membersihkan darah dengan menyaring (filter) substansi asing dan bibit penyakit yang ikut masuk lewat aliran darah sehingga membantu tubuh melawan infeksi. Dalam hepar terdapat sejumlah besar sel kupfer yang dapat memakan kuman dan bibit penyakit lain. Sebagian besar bakteri yang berada dalam darah portal (dari usus) dapat dimangsa oleh sel kupfer sehingga darah yang keluar dari hepar dan kembali ke serambi kanan jantung sudah relatif bebas dari bakteri.
3. Memproduksi dan mengekresikan empedu
Empedu diproduksi hepar terus-menerus untuk membantu pencernaan lemak. Hepar menghasilkan 500-1000cc empedu/hari dan disalurkan ke dalam kandung empedu untuk disimpan. Di dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan sehingga dari warna semula cokelat muda menjadi cokelat kehijauan. Pada saat makanan berlemak memasuki usus 12 jari, hormon kolesistokinin merangsang kandung empedu mengeluarkan cairan empedu untuk membantu proses pencernaan lemak.
4. Membantu menjaga keseimbangan glukosa darah
Dalam proses pencernaan makanan, karbohidrat yang kita konsumsi dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana, yaitu glukosa. Jika kadar glukosa darah meningkat tajam melebihi ambang batas normal, hormon insulin mengubah glukosa menjadi glikogen (energi cadanagan) yang disimpan dalam hepar.
5. Membantu faktor pembekuan darah
6. Menetralisir zat-zat beracun dalam tubuh
7. Mempertahankan suhu tubuh
Dengan besarnya organ dan banyaknya kegiatan metabolik yang berlangsung di hepar, meyebabkan darah yang melewati hepar naik suhunya.

2. Pengertian
Hepatitis berasal dari dua kata, yaitu hepa (hepar) dan itis (radang). Hepatitis merupakan radang yang terjadi pada organ hepar (H.M. Hembing Wijayakusuma, 2008: 6).
Hepatitis berasal dari bahasa latin yaitu peradangan hati. Peradangan ini dapat menyebabkan kerusakan sel-sel, jaringan bahkan semua bagian organ hati, hepatitis dapat terjadi karena penyakit yang memang menyerang sel-sel hati atau penyakit lain yang menyebabkan komplikasi pada hepar (Wening Sari, dkk, 2008: 10).

Gambar 2.4. Perbedaan sel yang rusak (kiri) dan sel hati yang masih sehat (kanan).

Hepatitis adalah peradangan hepar. Penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi atau oleh toksin termasuk alkohol, dan dijumpai pada kanker hati. Gejala dan tanda masing-masing jenis hepatitis serupa. Cara penularan, apabila penyebabnya virus, dan hasil akhirnya mungkin berbeda (Elizabeth J. Corvin, 2001: 573).
Hepatitis adalah suatu kelainan berupa peradangan organ hepar yang disebabkan banyak hal, antara lain infeksi virus, gangguan metabolisme, obat-obatan, alkohol maupun parasit (Wening Sari, 2008: 8).
Hepatitis adalah inflamasi akut hepar. Ini dapat disebabkan oleh bakteri atau cedera toksik (Barbara Engram, 1999: 524).

Gambar 2.5. Perbedaan antara jaringan yang sehat (kanan) dan jaringan yang rusak (kiri).

Hepatitis adalah inflamasi dan cedera pada hepar. Ini adalah rekasi hepar terhadap berbagai kondisi, terutama virus, obat-obatan dan alkohol (Monica Ester, 2002: 93).
Hepatitis adalah peradangan hati karena berbagai sebab. Hepatitis yang berlangsung kurang dari 6 bulan disebut hepatitis akut, hepatitis yang berlangsung lebih dari 6 bulan disebut hepatitis kronis (www.wikipwdia.com/diakses/11/006/2009).
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia (http://hepatitis wordpress.com/diakses/24/06/2009).
Hepatitis adalah inflamasi hati yang dapat terjadi karena invasi bakteri, cidera oleh agen fisik atau kimia (nonviral) atau infeksi virus (Hepatitis A, B, C, D, E) (http//Hepatitis.com/diakses/24/06/2009).
Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis virus yang menyerang dan menyebabkan peradangan serta merusak sel-sel organ hati manusia. Hepatitis dikategorikan dalam beberapa golongan, diantaranya hepetitis A, B, C, D, E, F dan G (www.okezone.com/diakses/24/06/2009).
Hepatitis akut adalah suatu infeksi sistemis terutama yang memengaruhi fungsi hati dan sembuh kurang dari 6 bulan (Fransisca B.Batticaca, 2009: 28).
Hepatitis kronis adalah merupakan kumpulan penyakit hati karena berbagai penyebab dengan keparahan lebih dari enam bulan (Fransisca B. Batticaca, 2009: 42).
Hepatitis kronis dapat dibedakan menjadi dua bentuk:
a. Hepatitis kronis persisten mempunyai proknosis (kemungkinan penyembuhan) yang baik.
b. Hepatitis kronis aktif dapat memicu penyakit yang lebih membahayakan, seperti sirosis hati dan kanker hati (karsinoma hepatoseluler) (H. M. Hembing Wijayakusuma, 2008: 7).

3. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hepatitis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu hepatitis virus dan hepatitis non-virus.
a. Hepatitis Virus
Hepatitis virus merupakan peradangan hati yang disebabkan oleh infeksi virus, sehingga dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Hepatitis A
Hepatitis A disebabkan infeksi virus A (VHA) yang berbentuk partikel dengan ukuran 27nanometer, merupakan jenis virus yang termasuk golongan picornavirus, masa inkubasi sekitar 30 hari dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut.
2. Hepatitis B
Hepatitis B disebabkan virus hepatitis B (VHB) yang termasuk dalam golongan hepadna viriade, yaitu golongan yang dapat menginfeksi manusia dan simpanse, VHB merupakan virus DNA berukuran 42nm, terdiri atas inti pusat yang dikelilingi lapisan lipoprotein yang berisi antigen permukaan VHB (HBsAg) yang menempel pada gen, masa inkubasi sekitar 60-90 hari dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut namun bisa menjadi kronis.
3. Hepatitis C
Hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HVC). Virus ini sebelumnya dikenal dengan virus hepatitis non A-non B (NANB) yang menyebabkan kasus-kasus hepatitis paska tranfusi darah atau produk darah sehingga disebut juga sebagai transfusion-associated hepatitis (hepatitis yang berhubungan dengan tranfusi). Virus hepatitis C berupa RNA yang menempel diluar sel, masa inkubasi bervariasi antara 2 minggu hingga 6 bulan dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut namun bisa menjadi kronis.

Gambar 2.6. Virus hepatitis C
(http://www.google.com/gambar/Virus hepatitis C.co.id, 2009)

4. Hepatitis D
Hepatitis D disebabkan virus hepatitis D (VHD), yaitu virus RNA tunggal yang berbentuk partikel sferis dan berdiameter 35-37nm dan disebut juga virus hepatitis delta, masa inkubasi sekitar 1-2 bulan dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut namun bisa menjadi kronis.
5. Hepatitis E
Hepatitis E disebabkan oleh virus hepatitis E (VHE), VHE merupakan virus RNA rantia tunggal berdiameter kurang lebih 32- 34nm dan tidak berkapsul, masa inkubasi sekitar 6 minggu dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut.
6. Hepatitis F
Untuk kasus hepatitis F masih jarang ditemukan. Para ahli masih mendebatkan apakah hepatitis F merupakan jenis hepatitis yang terpisah.
7. Hepatitis G dan TT
Virus Hepatitis G dan TT belum lama ditemukan sehingga ciri-ciri virus dan perjalanan penyakit kedua jenis hepatitis virus ini belum banyak diketahui, terutama hepatitis TT. Hepatitis G disebabkan virus hepatitis G (VHG) atau virus hepatitis GB, dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut namun bisa menjadi kronis (M. H. Hembing Wijayakusuma, 2008: 17).
Setelah terpajan virus hepatitis, dapat terjadi sejumlah sindrom klinis:
1. Keadaan pembawa: tanpa memperlihatkan penyakit, atau dengan hepatitis kronis subklinis.
2. Infeksi asimtomatik: hanya bukti serologis.
3. Hepatitis akut: anikterik atau ikterik.
4. Hepatitis kronis: dengan atau tanpa perkembangan menjadi sirosis.
5. Hepatitis fulminan: nekrosis hati submasif sampai masif (Kumar, dkk, 2007: 679).
b. Hepatitis Non-virus
Hepatitis non-virus merupakan bentuk peradangan hepar yang bukan disebabkan virus. Penyakit ini terutama disebabkan bahan-bahan kimia dan obat-obatan yang dapat mengiritasi, meracuni, dan menyebabkan kerusakan sel-sel hepar sehingga disebut juga hepatitis toksik dan dapat digolongkan sebagai hepatitis akut namun bisa menjadi kronis (H. M. Hembing Wijayakusuma, 2008: 17).


4. Patofisiologi
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar yang baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar yang normal.
Hepar yang terinfeksi virus dan non-virus, toksin atau pun obat-obatan dan alkohol terjadi peradangan yang terjadi pada organ hati, kerusakan sel-sel, kerusakan jaringan dan seluruh organ hati berakibat pembesaran dan pengerasan.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadaran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah bilirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kesukaran sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kerusakan pengangkutan bilirubin tersebut didalam hati. Akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk).
Tinja mengadung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat diekresikan ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urin berwarna seperti teh (http://www. okezone.com /diakses/23/06/2009).
Adapun tanda-tanda hepatitis virus dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu:
1. Tahap pra-ikterik (tahap prodromal) yang berlangsung selama satu minggu. Anoreksia (merupakan tanda utama), suhu tubuh meningkat disertai menggigil, mual dan muntah, kesulitan mencerna makanan (dispepsia), nyeri tekan pada hepar, cepat lelah, malaise, berat badan menurun.
2. Tahap ikterik dimulai dengan timbulnya ikterik yang berlangsung selama 46 minggu. Pada tahap ini, tanda tahap pre-ikterik akan berkurang, kecuali anoreksia, mual, muntah, dispepsia, rasa lemah, dan malaise makin bertambah, nyeri tekan pada hepar juga bertambah. Ikterik timbul karena gangguan metabolisme bilirubin. Urin berwarna kuning pekat seperti air teh, sklera mata (bagian putih mata) dan kulit dan kuku berwarna kuning, penderita merasa sakit dan bengkak, terutama pada hepatitis B dan C, asites pada abdomen.
3. Tahap paska-ikterik atau tahap penyembuhan. Tahap ini dimulai ketika ikterik telah hilang (Mary Baradero, dkk, 2008: 31).









































Gambar 2.7. Skema Hepatitis
5. Tanda dan Gejala
Hepatitis virus yaitu A, B, C, D, E dan G mempunyai gejala yang hampir sama sehingga hampir tidak bisa dibedakan satu sama lain, kecuali hepatitis A yang tanda awalnya bersifat tiba-tiba.
a. Fase pre-ikterik
Merupakan gejala awal yang tampak saat menderita hepatitis.
1. Anoreksia (merupakan tanda yang paling utama).
2. Suhu tubuh meningkat disertai menggigil.
3. Mual dan muntah.
4. Kesulitan mencerna makanan (dispepsia).
5. Nyeri tekan pada hepar.
6. Cepat lelah.
7. Lemah.
8. Berat badan menurun (Marry Baradero, dkk, 2008: 32).
b. Fase ikterik atau kuning (berlangsung 46 minggu)
Merupakan tanda setelah fase pre-ikterik.
1. Urin berwarna kuning pekat seperti air teh.
2. Sklera mata (bagian putih mata) dan kulit dan kuku berwarna kuning.
3. Penderita merasa sakit dan bengkak, terutama pada hepatitis B dan C.
4. Asites pada abdomen (H. M. Hembing Wijayakusuma, 2008: 8).

Gambar 2.8. Mata, kulit, dan kuku berwarna kuning muda merupakan
salah satu gejala hepatitis

6. Macam-Macam Hepatitis
Secara umum hepatitis terbagi dua, yaitu hepatitis virus dan hepatitis non-virus.
Adapun rinciannya, yaitu:
a. Vepatitis Virus
1. Hepatitis A
Merupakan hepatitis yang paling ringan. Hal ini umumnya tidak sampai menyebabkan kerusakan hati. Mereka yang terinfeksi oleh virus ini, 99% dapat pulih sepenuhnya. Virus hepatitis A bersifat sangat stabil dan tidak rusak oleh perebusan singkat, tetapi rusak jika dididihkan, selain itu rusak oleh formalin, radiasi matahari. Di daerah tropis puncak insiden cenderung terjadi selama musim hujan dan di negara berkembang karena kondisi sosial ekonomi, hygiene dan sanitasi yang sangat rendah. Penularan hepatitis A terutama melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh VHA seperti melalui tangan penderita yang dicuci kurang bersih setelah buang air besar, kemudian mencemari makanan dan minuman.
2. Hepatitis B
Jika dalam darah terdeteksi HBsAg, berarti positif terinfeksi VHB. Hepatitis B merupakan tipe hepatitis yang berbahaya, penyakit ini lebih sering menular dibandingkan hepatitis jenis lainnya. Hepatitis B menular melalui kontak darah atau cairan tubuh yang mengadung virus hepatitis B (VHB). Seseorang dapat saja mengidap VHB, tetapi tidak disertai dengan gejala klinik ataupun tidak tampak adanya kelainan dan gangguan kesehatan, orang tersebut merupakan pembawa atau sering disebut carrier. Virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius, yakni lebih berpotensi menyebabkan infeksi dibandingkan virus HIV, karena masa tunasnya cukup pendek, yaitu sekitar 3 bulan. Virus ini ditemukan di dalam darah, air ludah, air susu ibu, cairan sperma, atau vagina penderita. Penularan hepatitis B terjadi melalui kontak dengan darah, tranfusi darah, cairan tubuh, maupun material yang terinfeksi, seperti jarum suntik, alat-alat bedah, alat-alat dokter gigi, jarum tato, maupun jarum tindik telinga yang tidak steril, pisau cukur, gunting kuku, atau sikat gigi, penularan hepatitis B juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B.
c. Hepatitis C
Hepatitis C menyebabkan peradangan hati yang cukup berat, diperkirakan 80% menjadi hepatitis kronis dan dapat berkembang menjadi sirosis dan masa inkubasi bervariasi antara 2 minggu hingga 6 bulan. Hepatitis C menular melalui darah, biasanya karena tranfusi atau jarum suntik. Walaupun hepatitis C cukup tinggi, tetapi perjalanan kliniknya lebih ringan. Penyakit hepatitis C lebih mudah disembuhkan jika diberikan pengobatan yang tepat secara dini. Hal ini karena materi genetik virus hepatitis C berupa RNA yang menempel di luar sel.
4. Hepatitis D
Virus ini bersifat pathogen dan sangat infeksius, dapat menyebabkan penyakit hati akut maupun kronis. Virus hepatitis D hanya terdapat pada tubuh penderita hepatitis B (HBsAg+) karena untuk dapat hidup dan berkembang biak didalam tubuh manusia membutuhkan bantuan virus hepatitis B, hal ini disebabkan virus hepatitis D membutuhkan selubung VHB untuk dapat menginfeksi sel-sel hati. Infeksi VHD dapat terjadi melalui dua cara:
a. Ko-infeksi (coinfektion): Jika infeksi VHD terjadi bersamaan dengan VHB. Umunya, ko-infeksi mengakibatkan hepatitis D akut.
b. Superinfeksi (superinfektion): Jika penderita hepatitis B kronis atau mengidap HBsAg (carier) terinfeksi oleh VHD. Umunya superinfeksi sering berkembang menjadi hepatitis kronis aktif.
Infeksi kedua virus tersebut bahkan dapat menyebabkan hepatitis fulminan, yaitu kerusakan hati yang cepat menjadi berat dan dapat mengakibatkan kematian. Penularan hepatitis D menyerupai hepatitis B yakni melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh yang mengandung VHD. Pemakian bersama jarum suntik pada pengguna narkoba, transfusi darah, alat-alat kedokteran yang tidak steril, atau melalui hubungan seksual merupakan sumber penularan hepatitis D yang paling utama.
5. Hepatitis E
Hepatitis E mempunyai sifat menyerupai hepatitis A, demikian juga untuk penularanya, tetapi dengan tingkat keparahan yang lebih ringan. Seperti hepatitis A, hepatitis E sering bersifat akut dengan masa kesakitannya singkat dan masa inkubasinya sekitar 6 minggu, tetapi terkadang dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati. Hepatitis E menular melalui makanan dan minuman yang tercemar feses yang mengandung VHE.
6. Hepatitis F
Untuk kasus hepatitis F masih jarang ditemukan. Para ahli masih mendebatkan apakah hepatitis F merupakan jenis hepatitis yang terpisah.
7. Hepatitis G dan TT
Hepatitis G mempunyai sifat dan model penularan yang sama dengan hepatitis B dan C, yakni melalui kontak dengan darah, penularan hepatitis G paling banyak terjadi melalui transfusi darah, tetapi tidak menutup kemungkinan alat-alat yang dapat melukai kulit dapat menjadi mediator penyebaran virus hepatitis G. Hepatitis G umunya berlangsung kronis, tetapi sampai saat ini tidak memberikan efek yang serius (Wening Sari, dkk, 2008: 13).
b. Hepatitis non-virus
1. Hepatitis karena obat-obatan dan zat kimia
Beberapa zat kimia seperti karbon tetraklorida, trikloroetilena, dan vinilklorida yang biasa digunakan sebagai bahan produk pembersih rumah tangga, jika terminum dapat meracuni dan merusak jaringan hati. Begitu juga obat-obatan tertentu dapat menyebabkan kerusakan hati.
2. Hepatitis karena alkohol (hepatitis alkoholik)
Kebiasaan minum alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan-jaringan vital dalam hati.
3. Hepatitis karena bakteri, cacing, atau protozoa
Infeksi mikroorganisme, seperti bakteri leptospira dapat ditularkan melalui air kencing tikus menjadi penyebab penyakit leptospirosis. Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir hidung atau kulit yang terluka dan kadang melalui pencernaan dari makanan yang terkontaminasi air seni tikus, anjing, kucing, atau kuda yang mengandung leptospira, bakteri tersebut banyak terdapat di dalam darah, hati penderita.
4. Hepatitis autoimunitas
Merupakan penyakit yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh yang menyerang jaringan tubuh sendiri dan menimbulkan kerusakan hati, penyakit ini umumnya bersifat kronis. Hepatitis autoimunitas lebih sering sering dijumpai pada wanita (sekitar 70%) dengan rentang usia 15-40 tahun dan sering berhubungan dengan penyakit lain.
5. Hepatitis karena jamur beracun
Bahan makanan yang ditumbuhi jamur Aspergillus flavus menghasilkan toksin jamur, seperti aflatoksin yang bersifat hepatotoksik (meracuni hati). Bahan makanan yang biasanya tercemar aflatoksin adalah kacang tanah yang tengik, oncom, atau jamur (H. M. Hembing Wijayakusuma, 2008: 17).

7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Upaya medis difokuskan pada pemeriksaan untuk memperoleh diagnosa yang tepat dan memberikan terapi suportif seperti:
a. Cairan dan elektrolit.
b. Imunisasi hepatitis.
c. Vitamin K.
d. Antihistamin untuk pruritus.
e. Anti emetik/muntah.
f. Kortikosteroid untuk hepatitis virus fulminan. Obat-obatan untuk mengurangi kegelisahan harus dicegah karena kebanyakan obat-obat ini mengandung sedatif yang harus didetoksifikasi oleh hepar (Mary baradero, dkk, 2008: 37).
Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati, berikan anti emetik golongan fenotiazin, vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan, edema serebral diobati dengan manitol iv 1g/kg 4-6 jam dengan observasi osmolaritas serum yang cermat. Bila melampoi 320 mOsmol/L harus dihentikan dan diulang kembali bila telah kembali normal. Perdarahan saluran cerna diturunkan dengan pemberian simetidin 300mg/6 jam atau per infus dengan dosis 50mg/jam. Laktulosa diberikan untuk mengendalikan hiperamonia dengan dosis disesuaikan agar tidak terjadi diare 2-3 kali/hari. Gangguan elektrolit berupa hiponatremia akibat pemakaian laktulosa yang berlebihan dapat terjadi, hipoglikemia diobati secara agresif dengan larutan dekstrosa 10-25%. Packed red cell hanya diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif atau jika akan dilakukan tindakan invasif seperti intubasi atau kanulasi vena sentral, dianjurkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi yaitu 800mg/hari (Arif Mansjoer, dkk, 2001: 514).
Hindari obat yang dapat menimbulkan reaksi merugikan seperti kolestasis dan obat yang dimetabolisme oleh hati, bila terdapat pruritus berat, hindari terapi kortikosteroid dan kolestiramin karena tidak akan bermanfaat dan malah akan membahayakan (Fransisca B. batticaca, 2009: 41).
b. Penatalaksanaan keperawatan
Secara umum pada penatalaksanaan keperawatannya yaitu pemenuhan kebutuhan klien secara komprehensif baik secara bio, psiko, kultural, spritual dalam memandirikan klien secara optimal, yang dilakukan perawat secara mandiri (independen), kolaborasi (interdependen), ketergantungan (dependen) (Nursalam, 2008: 13).
Rawat inap dan isolasi adalah tindakan koprehensif terhadap penyakit hepatitis.
1. Rawat inap dengan tirah baring untuk menyembuhkan total dengan pembatasan aktivitas.
2. Diet tinggi kalori/karbohidrat dan rendah lemak, makan harus diberikan dalam porsi kecil dan diberikan empat sampai enam kali sehari. Namun jika klien mual dan muntah harus diberikan terutama pada pagi hari karena klien biasanya mengalami mual pada malam hari.
3. Pemberian nutrisi parenteral diperlukan pada stadium akut dan pada klien yang muntah terus-menerus serta tidak dapat mempertahankan intake nutrisi secara oral.
4. Isolasikan klien pada ruangan tertentu.
5. Ketika melakukan perawatan klien, gunakan sarung tangan dan hindari kontak langsung dengan tangan.
6. Jika pasien mual, tidak nafsu makan atau muntah, sebaiknya diberikan infus. Jika sudah tidak mual lagi, diberikan makanan yang cukup kalori (30-35 kalori/kg BB) dengan proten cukup (1g/kg BB) (Fransisca B. Batticaca, 2009: 41).

8. Komplikasi
Pada perkembangannya, penyakit hepatitis terutama yang menetap atau kronis, sering mengalami komplikasi, seperti sirosis hati dan kanker hati (hepatoma).
a. Sirosis hati
Merupakan peyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan sel-sel oleh jaringan ikat, diikuti dengan parut serta sering diiringi pembentukan ratusan nodules (benjolan). Penayakit ini mengubah struktur hati dari jaringan hati normal menjadi benjolan-benjolan keras yang abnormal yang mengubah pembuluh darah. Hati yang mengalami sirosis kelihatan berbenjol-benjol, penuh parut, berlemak, dan berwarna kuning jingga, hati menjadi keras.

Gambar 2.9. Perbedaan hati dalam keaadaan normal (atas) dan hati yang terkena sirosis (bawah).

Gejala awal sirosis mirip dengan hepatitis. Namun, pada sirosis yang telah lanjut, gejala berkembang sesuai dengan kerusakan hati berikut ini:
1. Pembentukan zat-zat pembekuan darah menurun sehingga mengakibatkan kecenderungan mudah luka, perdarahan pada hidung, perdarahan gusi, dan kurang darah.
2. Perut menjadi buncit akibat akumulasi cairan dalam perut (asites) dan pembengkakan kaki (edema), serta varises.
3. Gemetar, lesu, paranoid, sulit konsentrasi, dan halusinasi.
4. Skrotum mengecil (atropi testis), berkurangnya bulu dada atau rambut ketiak pada pria, serta haid tidak teratur pada wanita.
5. Gatal-gatal yang hebat, bintik merah pada kulit.
6. Bau napas tidak sedap dan pembesaran hati atau limpa.


b. Kanker hati primer (karsinoma hepatoseluler)
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma merupakan tumor hati primer yang berasal dari jaringan hati sendiri. Penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki (terutama 60 tahun ke atas) dibandingkan pada wanita. Hepatoma belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi berikut ini ada beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya kanker:
1. Penderita sirosis hati dan penyakit hati degeneratif.
2. Hepatitis B dan C (hepatitis kronis). Sekitar 80% dari kanker hati terjadi dari hepatitis B kronis.
3. Infeksi cacing hati (clonorchis sinersis).
Gejala yang timbulkan kanker hati bervariasi, berikut ini gejalanya:
1. Lemah, tidak nafsu makan, berat badan menurun drastis dan demam.
2. Perut terasa penuh dan adanya massa di kuadran kanan atas perut.
3. Rasa nyeri pada perut tengah atau bagian kuadran kanan atas.
4. Perut membuncit karena ada pembentukan cairan di rongga perut.
5. Tangan dan kaki membengkak.
6. Kulit berwarna kuning.
7. Urin berwarna seperti teh dan buang air besar berwarna kehitam-hitaman.
Untuk mendiagnosis sirosis hati dan kanker hati yaitu dengan melakukan biopsi hati (mengambil jaringan untuk diperiksa) sehingga dapat diketahui keparahan dari peradangan hatinya. Selain itu, dapat ditunjang dengan pemeriksaan CT-scan dan tes laboratorium berupa tes darah, feses, urin (H. Hembing Wijayakusuma, 2008: 20).


9. Pemeriksaan penunjang
Semua jenis hepatitis virus mempunyai gejala yang hampir sama sehingga sukar dibedakan. Selain melihat gejala klinis, untuk memastikan diperlukan juga pemeriksaan laboratorium seperti berikut ini:
a. Pemeriksaan kimia darah terhadap tes faal hati
1. Kadar bilirubin.
2. Bilirubin direk dan indirek.
3. SGOT/AST (aspartate transaminase).
4. SGPT/ALT (albumin transferase).
5. Protein plasma (albumin dan globulin).
6. Asam empedu.
7. Gamma-GT.
8. Hitung darah lengkap, hitung jenis leukosit.
9. Profil pembekuan (proses pembekuan memanjang pada gagal hati).
10. Profil biokimia (tes fungsi hati, albumin, dan ureum/kreatinin).
11. Glukosa (rendah pada hepatitis fulminan).
12. Rontgen toraks.
13. Pemeriksaan CT-scan.
b. Tes serologi untuk memastikan infeksi virus hepatitis
1. Hepatitis A: anti-HAV total, anti-HAV lgM.
2. Hepatitis B: HBsAg, HBcAg, HBeAg, anti-HBs, anti-HBc, anti- HBe, HBV-DNA (kualitatif dan kuantitatif).
3. Hepatitis C: anti-HCV total, anti-HCV lgM, HCV-RNA, HCV genotif.
4. Hepatitis D: anti-HDV.
5. Hepatitis E: anti-HEV lgG, anti-HEV lgM.
c. Biopsi yaitu pengambilan jaringan hati tanpa pembedahan, lalu diperiksa secara mikroskopis (H. M Hembing Wijayakusuma, 2008: 8).

10. Prognosis
Setelah dilakukan pengobatan selama 6 bulan penderita akan sembuh dengan sendirinya dan hati normal sempurna. Jika terjadi komplikasi, kematian dapat terjadi.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Konsep dasar asuhan keperawatan yang dilakukan melalui proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada klien dengan berbagai tatanan pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia, dengan menggunakan metodologi poses keperawatan, berpedoman pada standar paraktik keperawatan dilandasi oleh ilmu, keterampilan, dan etika keperawatan, dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab keperawatan (Suprayitno, 2004: 23).
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang profesional dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia dari biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang dapat ditunjukan kepada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat sakit. Pemenuhan dasar tersebut diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan. Dalam hal pencegahan dan penanggulangan penyakit seorang perawat memegang peranan penting serta memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan melalui tindakan nyata baik penyuluhan kesehatan, pencegahan, pengawasan dalam pengobatan maupun untuk pemulihannya apabila penangannya tidak sempurna maka akan terjadi infeksi, perawatan menjadi lebih lama dan kepercayaan klien terhadap perawat maupun rumah sakit berkurang (A.Aziz Alimul Hidayat, 2008: 3).
Keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini dapat dapat disebut pendekatan untuk memecahkan masalah (problem-solving) yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan interpersonal, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat. Proses keperawatan terdiri atas lima tahap yang berurutan dan berhubungan, yaitu:
1. Pengkajian.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan.
3. Perencanaan.
4. Imlementasi.
5. Evaluasi (Nursalam, 2008: 1).

1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber. Pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Pengkajian yang akurat, lengkap sesuai dengan kenyataan sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dalam memberikan pelayanan-pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu, dan ketentuan dalam standar praktek klinik keperawatan dari ANA (American Nursing Association) (Nursalam, 2008: 29).
Dalam buku Proses dan Dokumentasi Keperawatan karangan Nursalam (2008: 31). Adapun data yang kemungkinan didapat pada klien dengan hepatitis:
a. Data subjektif
Data subjektif adalah data yang didapat dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Data tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunikasi. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan termasuk persepsi klien, perasaan, dan ide tentang status kesehatannya.
1. Nyeri daerah hepar.
2. Perubahan pada gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, dispepsia).
3. Berat badan menurun.
4. Pernah mengalami peningkatan suhu tubuh disertai menggigil.
5. Cepat lelah, kurang enak yang tidak hilang dengan istirahat (Mary Baradero, dkk, 2008: 37).
b. Data objektif
Data objektif adalah data yang dapat diobservasi oleh perawat. Data ini diperoleh melalui kepekaan perawat selama melakukan pemeriksaan fisik. Yang termasuk objektif adalah frekuensi pernapasan, tekanan darah, dan adanya edema.
1. Ikterik pada kulit dan sklera.
2. Pemeriksaan abdomen ditemukan pembesaran hepar, nyeri tekan pada daerah hepar.
3. Tanda-tanda cairan dan elektrolit tidak seimbang.
4. Demam, dehidrasi (Mary Baradero, dkk, 2008: 38).

Adapun pengkajiannya sendiri secara umum adalah sebagai berikut:
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, suku dan bangsa, status perkawinan, alamat, ruang dirawat, tanggal masuk RS, No Register, dan Diagnosa medis.
Hepatitis dapat terjadi pada semua umur baik tua maupun muda, pada anak/bayi. Laki-laki dan perempuan sering disebabkan oleh serangan dan penularan hepatitis dan pada bayi biasanya karena dilahirkan oleh ibu yang mengidap penyakit hepatitis.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat dan hubungan dengan pasien.
c. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Nyeri tekan pada daerah hepar.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Menjelaskan riwayat penyakit yang dialami adalah klien mengeluh nyeri tekan pada daerah hepar dan masuk RS dengan suhu tubuh meningkat disertai menggigil, penurunan berat badan, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri kepala.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah diderita pasien waktu dahulu seperti ada riwayat hepatitis/kontak dengan penderita hepatitis, riwayat hipertensi dan diabetes melitus perlu dikaji, riwayat pernah masuk RS dan penyakit yang pernah diderita oleh klien.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Ada tidaknya terdapat riwayat pada keluarga dengan penyakit vaskuler seperti hipertensi, penyakit metabolik seperti diabetes melitus atau penyakit kanker yang pernah diderita oleh keluarga klien atau ada tidaknya keluarga yang memiliki penyakit menular/keturunan ataupun penyakit yang dialami klien.
d. Dasar data pengkajian klien
Menurut Marilynn E. Doenges (2000: 534) meliputi:
Data tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati
1. Aktivitas/istirahat
Gejala:
a. Kelemahan.
b. Kelelahan.
c. Malaise umum.

2. Sirkulasi
Tanda:
a. Bradikardi (hiperbilirubinemia berat).
b. Ikterik pada sklera, kulit, membrane mukosa.
3. Eliminasi
Gejala:
a. Urin gelap.
b. Diare/konstipasi; feses warna tanah liat.
c. Adanya/berlubangnya hemodialisa.
4. Makanan/cairan
Gejala:
a. Hilangya nafsu makan, penurunan berat badan.
b. Edema.
c. Mual/muntah.
Tanda:
a. Asites.
5. Neurosensori
Tanda:
a. Peka rangsang.
b. Cenderung tidur.
c. Letargi/kelemahan.
d. Asteriksis.
6. Nyeri/kenyamanan
Gejala:
a. Kram abdomen.
b. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas.
c. Mialgia, artalgia, sakit kepala.
d. gatal (pruritus).

Tanda:
a. Otot tegang.
b. Gelisah.
7. Pernapasan
Gejala:
a. Tidak minat/enggan merokok (perokok).
8. Keamanan
Gejala:
a. Adanya tranfusi darah/produk darah.
Tanda:
a. Demam.
b. Urtikaria, lesi makulopapular, eritema tak-beraturan.
c. Eksaserbasi jerawat.
d. Angioma jaring-jaring, eritema palmar.
e. Ginekomastia (kadang-kadang ada pada hepatitis alkoholik).
9. Seksualitas
Gejala:
a. Pola hidup/perilaku meningkatkan resiko terpajan (homoseksual aktif/biseksual pada wanita).
10. Pemeriksaan diagnostik
Tes fungsi hati: abnormal (4-10 kali dari normal). Catatan: merupakan batasan nilai untuk membedakan hepatitis virus dari non-virus.
AST (SGOT/ALT(SGPT): dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
Darah lengkap: SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
Leukopenia: trombositopenia mungkin ada (splenomegali).
Diferensial darah lengkap: leukositosis, monositosis, limfosit atipikal, dan sel plasma.
Alkali fosfatase: agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat).
Feses: warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
Albumin serum: menurun.
Gula darah: hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi hati).
e. Data fokus
I : Terdapat pembesaran pada abdomen kuadran kanan atas.
P : Teraba benjolan pada kuadran kanan atas.
P : Pekak.
A : Tidak terdengar.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah sebuah label singkat, menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah aktual ataupun potensial (Judith M. Wilkinson, 2007: 15).
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, mengubah (Nursalam, 2008: 59).
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) menyatakan bahwa diagnosis keperawatan adalah keputusan klinik mengenai respon individu (klien dan masyarakat) tentang masalah kesehatan aktual atau potensial sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapi tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan wewenang perawat. Semua diagnosis keperawatan harus didukung oleh data, dimana menurut NANDA diartikan sebagai definisi karateristik (Nursalam, 2008: 59).
Gordon mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan adalah masalah kesahatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat mampu dan mempunyai kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan (Nursalam, 2008: 59).
Menurut Marilynn E. Doenges (2001), diagnosa yang mungkin muncul pada klien hepatitis adalah:
a. Nyeri akut berhubungan dengan asites, pembesaran hati.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan melalui muntah dan diare.
c. Perubahan nurtisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan hilangnya nafsu makan, mual dan muntah.
Menurut Judith M. Wilkinson (2007), diagnosa yang mungkin muncul pada klien hepatitis adalah:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan tekanan diafragma akibat asites.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik, akibat ikterus dan asites.
d. Ketidak efektifan koping individu berhubungan dengan pribadi yang rentan dalam krisis situasi.
e. Defisit perawatan diri berhungan dengan intoleransi aktivitas.
f. Gangguan harga diri berhubungan dengan gangguan citra tubuh.

3. Perencanaan
Secara sederhana, keperawatan dapat diartikan sebagai suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi keperawatan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, rencana, keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam, 2008: 77).
Adapun intevensi dan rasionalnya, yaitu:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan tekanan diafragma akibat asites.
Tujuan:
Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif dan pola nafas adekuat.
Kriteria hasil:
1. Menunjukan pola nafas efektif (lambat dan dalam).
2. Mempunyai respirasi dalam batas normal (R:16-24 kali/menit).
3. Menunjukan status pernafasan ventilasi tidak terganggu.
Intervensi Rasional
1. Pantau frekwensi, kedalaman dan upaya respirasi. 1. Pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen.
2. Auskultasi bunyi nafas tambahan. 2. Kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan.
3. Berikan posisi semi fowler. 3. Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma.
4. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif. 4. Membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak.
5. Pantau adanya pucat dan sianosis. 5. Menunjukan hipoksia dan gagal pernafasan.
6. Kolaborasi dalam pemberian oksigen sesuai indikasi. 6. Mungkin perlu untuk mengobati/mencegah hipoksia.

b. Nyeri akut berhubungan dengan asites, pembesaran hati
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang/hilang, klien tidak mengeluh nyeri, klien terlihat tenang.


Kriteria hasil:
1. Skala nyeri menjadi 0 (0: tidak ada nyeri, 1: nyeri ringan, 2: nyeri sedang, 3: nyeri berat, 4: nyeri sangat berat).
2. Tanda-tanda vital normal (TD: 100-130/70-90 kali/menit, N: 60-80 kali/menit, RR: 16-24 kali/menit, S: 36,5-37,5ยบ).
Intervensi Rasional
1. Kaji/hubungkan faktor fisik/emosi dari keadaan seseorang. 1. Faktor yang berpengaruh terhadap
keberadaan/persepsi nyeri tersebut.
2. Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan yang tenang. 2. Menurunkan stimulasi yang
berlebihan yang dapat mengurangi nyeri.
3. Catat intensitas nyeri dengan
skala 0-4. 3. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan, merupakan suatu hal yang amat penting dalam tindakan selanjutnya.
4. Ajarkan teknik distraksi dan
relaksasi.
4. Dengan teknik distraksi dan relaksasi, dapat mengurangi rasa nyeri.

5. Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik, sesuai dengan indikasi. 5. Penanganan pertama dari nyeri secara umum, yang berguna menahan rasa nyeri.

c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan melalui muntah dan diare.
Tujuan:
Mempertahankan hidrasi adekuat dengan bukti, membran mokusa mulut lembab, torgur kulit baik, tanda-tanda vital stabil dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat.
Kriteria Hasil:
1. Kekurangan volume cairan dapat teratasi (intek dan output seimbang).
2. Frekuensi nadi dan irama dalam rentang yang diharapkan (N: 60-80 kali/menit).
Intervensi Rasional
1. Kaji stasus hidrasi, turgor kulit dan membrane mukosa. 1. Indikator keadikuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
Intervensi Rasional
2. Kaji TTV, perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa. 2. Indikator volume sirkulasi/perfusi.
3. Awasi input dan out put cairan. 3. Penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.
4. Berikan sejumlah cairan bila pemasukan peroral dimulai. 4. Meminimalkan kehilangan cairan.
5. Kolaborasi pemberian cairan dan eletrolit. 5. Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki ketidak keseimbangan.

d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan hilangnya nafsu makan, mual dan muntah.
Tujuan:
Mempertahankan berat badan yang mengacu pada tujuan yang di inginkan dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi dan menunjukan perbaikan tingkat tinggi.
Kriteria hasil:
1. Berat badan dapat dipertahankan.
2. Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
Intervensi Rasional
1. Berikan makanan sedikit tapi sering dan tawarkan makan pagi paling besar. 1. Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anoreksia juga paling buruk selama siang hari, membuat makanan yang sulit pada sore hari.
2. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalnya lingkungan tenang saat makan). 2. Lingkungan tenang memberikan minat makan yang lebih.
3. Berikan perawatan mulut sebelum makan. 3. Akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tidak sedap yang menurunkan nafsu makan.
4. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak. 4. Menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan.
5. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak. 5. Glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.
Intervensi Rasional
6. Hindari prosedur invasif sebelum makan. 6. Prosedur invasif mengurangi minat makan.
7. Kolaborasi dengan ahli diet seperti konsultasi pada ahli diet masukan lemak dan protein sesuai toleransi. 7. Berguna dalam program diet untuk memenuhi kebutuhan individu seperti perlunya pembatasan lemak saat diare dan pembatasan protein diindikasikan pada penyakit berat (hepatitis kronis).

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu melakukan peningkatan toleransi aktivitas.
Kriteria hasil:
1. Intoleransi aktivitas dapat diatasi.
2. Melakukan aktivitas kecil seperti ROM aktif.
3. Menunjukan prilaku yang mampu kembali melakukan aktivitas.
Intervensi Rasional
1. Kaji respon emosi, sosial dan spiriritual terhadap aktivitas. 1. Mengetahui tingkat perubahan aktivitas klien.
2. Tingkatkan tirah baring /duduk, berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung sesuai keperluan. 2. Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan.
3. Ubah posisi dengan sering. 3. Meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.
4. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan latihan ROM. 4. Tirah baring lama menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
5. Lakukan tugas dengan cepat dan sesuai toleransi. 5. Memungkinkan periode tambahan istirahat tanpa gangguan.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian obat sesuai indikasi seperti sedatif (diazepam). 6. Membantu dalam manajemen kebutuhan tidur.

f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik, akibat ikterus dan asites.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu melakukan peningkatan perawatan kulit dan menunjukan tingkat kesembuhan yang baik.
Kriteria Hasil:
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan.
2. Melakukan pemahaman perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan.
3. Kerusakan kulit dapat dicegah.
4. Tidak terjadi lesi ataupun bila terjadi luka dapat menunjukan tingkat kesembuhan yang baik.
Intervensi Rasional
1. Pantu kulit dari adanya ruam, lecet, warna, suhu. 1. Perubahan kulit menunjukan peradangan.
2. Ubah posisi sering ditempat tidur. 2. Memperbaki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
3. Pantau kelembapan atau kekeringan yang berlebihan. 3. Terlalu kering atau lembab merusak kulit dan mempercepat kerusakan.
4. Gunakan kasur penurun tekanan (busa). 4. Meminimalkan terjadinya tekanan pada area.
5. Gunakan air mandi dingin dan pemakaian baby oil setelah mandi. 5. Mencegah kulit kering berlebihan.
6. Hindari komentar tentang penampilan klien. 6. Meminimalkan stress psikologis sehubungan dengan perubahan kulit.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian obat sesuai indikasi seperti antihistamin (metdilazin). 7. Membantu menghilangkan gatal.

4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesadaran, mefasilitasi koping (Nursalam, 2008: 127).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan implementasi.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapi tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respons klien terhadap asuhan keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat mengambil keputusan (Nursalam, 2008: 135).

6. Dokumentasi
Pendokumentasian adalah salah satu tugas dan tanggung jawab perawat. Tetapi akhir-akhir ini tanggung jawab perawat terhadap dokumentasi sudah berubah, akibatnya isi dan fokus dokumentasi telah dimodifikasi. Oleh karena tersebut, maka perawat perlu menyusun suatu model dokumentasi yang baru, lebih efesien dan lebih bermakna dalam pencatatan dan penyimpanan.
Komponen model dokumentasi yang digunakan mencakup tiga aspek, yaitu keterampilan berkomunikasi, keterampilan mendokumentasikan proses keperawatan, dan standar dokumentasi (Nursalam, 2008: 143).
Dimana pendokumentasian dilakukan pada saat pemberian asuhan keperawatan dalam setiap proses keperawatan sebagai bukti legalisasi tindakan dalam aspek hukum.

ASKEP HIPERTENSI

A. Konsep Dasar Penyakit
1. Anatomi Fisiologi Saluran Pencernaan
Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses percernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.
Susunan saluran pencernaan terdiri dari :
a. Oris (mulut)
b. Faring (tekak)
c. Esofagus (kerongkongan)
d. Ventrikulus (lambung)
e. Intestinum minor (usus halus)
1) Doudenum (usus duabelas jari)
2) Yeyenum
3) Ileum
f. Intestinum mayor (usus besar)
1) Seikum
2) Kolon asendens
3) Kolon transversum
4) Kolon desendens
5) Kolon sigmoid
g. Rektum
h. Anus


Gambar 2.1
Anatomi Saluran Pencernaan


Menurut Syaifuddin (2006 : 177) anatomi fisiologi saluran pencernaan adalah :
a. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri dari bagian luar yang sempit yaitu ruang antara gigi, dan pipi dan bagian rongga mulut/bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya olehg tulang maksilaris, palatum dan mandibularis.
Pipi dan bibir mengandung otot-otot yang diperlukan dalam proses pengunyahan dan bicara, lidah membentuk rantai dari mulut yang berfungsi sebagai alat pengecapan, untuk rasa, dan sebagai alat bantu untuk bicara, menelan/melumatkan bahan makanan dalam rongga mulut. Sedangkan gigi berfungsi sebagai pemotong makanan (menolong dalam proses pencernaan).
Dalam rongga mulut terdapat 3 kelenjar ludah yang besar, yaitu kelenjar parotis, terletak disebelah bawah daun telinga diantara alat pengunyah dengan kulit pipih. Cairan ludah hasil sekresinya dikeluarkan melalui duktus stensen ke dalam rongga mulut melalui satu lubang dihadapan gigi molar kedua atas. Kelenjar sublingualis terletak di bawah lidah, salurannya (duktus rinivus) menuju lantai rongga mulut dibelakang gigi seri pertama, sedangkan kelenjar submandibularis terletak di belakang dan kesamping dari kelenjar sublingualis, salurannya (duktus wharton) menuju ke lantai rongga mulut di belakang gigi seri pertama
b. Faring (Tekak)
Faring (tekak) terletak di belakang hidung, mulut, dan tenggorokan, tekak berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan membran berotot dengan bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan dari dasar tenggorokan sampai di ketinggian vertebral servikalis keenam, yaitu ketinggian tulang rawan krikoid, tempat faring bersambung dengan kerongkongan, panjang faring kira-kira 7 cm. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan dari infeksi (Syaifuddin, 2006 : 170)

c. Esofagus (kerongkongan)
Kerongkongan adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 25 cm dengan garis tengah 2 cm, dimulai dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung dibawah. Kerongkongan terletak di belakang trakea dan didepan tulang punggung. Setelah melalui torak menembus diafragma untuk masuk ke dalam perut dan menyambung dengan lambung, esofagus berfungsi mengantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung. (Syaifuddin, 2006 : 170)

d. Lambung
Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang dapat mekar, terletak di dalam rongga perut agak sebelah kiri/dibawah diafragma, di depan pankreas, bentuk ukuran dan posisi sangat tergantung pada bentuk tubuh, sikap dan derajat peregangan lambung, sedangkan kapasitas normal lambung adalah 1-2 liter. Anatomi lambung terdiri dari fundus, korpus, dan filorus, sedangkan fungsi lambung adalah menerima makanan dari esofagus melalui orifisium kardiak dan bekerja sebagai penimbun sementara makanan. (Syaifuddin, 2006 : 170)

e. Usus Halus
Halus memanjang dari lambung sampai katub ileo-kolika, tempat bersambung usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar. Fungsi usus halus adalah mencerna dan menyerap "khime" dari lambung. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu :
1) Duodenum (usus 12 jari)
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm berbentuk sepatu kuda. Pada usus halus ini bermuara dua saluran yaitu saluran getah pankreas dan saluran empedu. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam usus 12 jari pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopankreatika. Getah empedu berfungsi untuk mengemulsi lemak, getah pankreas menghasilkan enzim pencernaan yaitu amilase untuk mengubah zat tepung menjadi gula, tripsin untuk mengubah protein menjadi asam amino, lifase untuk mengubah lemak menjadi gliserol dan asam lemak.
2) Yeyenum
Yeyenum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus. Pada bagian ini pencernaan diselesaikan secara kimiawi.
3) Ileum
Ileum menempati tiga perlima akhir. Pada bagian ini sari-sari makanan hasil proses pencernaan diserap, makanan diserap oleh jonjot usus. Asam amino, glukosa, vitamin, garam, dan mineral diangkut oleh kapiler darah. (Syaifuddin, 2006 : 172 – 173)

f. Usus Besar
Usus besar panjangnya kurang lebih 1,5 meter dan lebar 5-6 cm. Usus besar terdiri dari :
1) Sekum
Sekum adalah bagian pertama dan pertemuan dengan ileum. Di bawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing yang panjang 6 cm.
2) Kolon asendens
Kolon asendens panjangnya 13 cm terletak dibawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas kiri ileum ke bawah hati. Dibawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
3) Kolon transversum
Kolon tranfersum panjangnya kurang lebih 38 cm membujur dari kolom asendens. Kolon asendens berada di bawah abdomen sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat fleksura linealis.
4) Kolon desendens
Kolon desendens panjangnya kurang lebih 25 cm terletak dibawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke bawah dari fleksura linealis sampai depan ileum kiri bersambung dengan kolon sigmoid.
5) Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolom desendens, Kolon sigmoid terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan dengan rektum. Dari keseluruhan fungsi usus besar adalah menyerap air dan makanan, tempat tinggal bakteri coli dan tempat feces.
g. Rektum
Rektum terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os koksigis.


h. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter :
1) Sfingter ani internus (sebelah atas) bekerja tidak menurut kehendak
2) Sfingter levator ani bekerja tidak menurut kehendak
3) Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak (Syaifuddin, 2006 : 170)

2. Konsep Dasar Penyakit Tifoid
a. Pengertian
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan denan gejala dernam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, gangguan kesadaran (Suriadi dan Yuliani, 2006 : 254)
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasannya mengenai cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran. (Nursalam, 2005 : 152)
Sedangkan menurut Soegianto (2002) demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus.


Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan olah bakteri yang terjadi pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan dapat disertai gangguan kesadaran.
b. Etiologi
Penyebabnya penyakit demam tifoid adalah salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen o, antigen h, dan antigen Vi (Nursalam, 2005 : 152 – 153).
Penyebabnya adalah salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora, dengan masa inkubasi 10 – 20 hari. (Suriadi dan Yuliani, 2006 : 255)
c. Patofisiologi
1) Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus, kemudian kuman masuk ke peredaran darah (bakterimia primer) dan mencapai sel-sel retikulo endoteleal, hati, limpa, dan organ-organ lainnya.
2) Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk kebeberapa organ jaringan tubuh, terutama limpa, usus halus, dan kandung empedu.
3) Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player, ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik, ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus, selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.
4) Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus (Suriadi dan Yuliani, 2006 : 254 – 255)






Secara skerna menurut Suriadi dan Yuliani, (2006) Pohon masalah sebagai berikut :

salmonella typhosa

masuk melalui mulut ke saluran pencernaan

diserap usus halus

bakteri memasuki aliran darah sistemik

endotoksin

kelenjar limfoid hati limpa demam
usus halus



tukak hepatomegali splenomegali



pendarahan dan nyeri perabaan
perforasi


Gambar 2.3
Skema Patofisiologi Demam Tifoid

d. Tanda dan Gejala
1) Nyeri kepala, lemah, letih, lesu, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk.
2) Demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung selama 3 minggu. Biasanya suhu tubuh meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi nari.
3) Gangguan pada saluran cerna.
4) Gangguan kesadaran : Penurunan kesadaran ( Apatis, Somnolen)
5) Bintik-bintik merah pada kulit akibat emboli basil dalam kapiler kulit.
6) Epistaksis.
( Suriadi. Dkk. 2006: 255-256)
Pada kasus ini terdapat demam pada minggu pertama biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.
Lidah kotor yang ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan biasanya terdapat konstipasi atau mungkin bisa diare.
(Mubin, Halim. 2007 : 31)

e. Komplikasi
1) . Usus : Perdarahan usus, melena, perforasi usus, peritonitis.
2) . Organ lain : Meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia.
( Suriadi, dkk, 2006: 255)
Menurut Mubin, Halim (2007) komplikasi lain yang bisa terjadi
pada penyakit demam tifoid adalah gangguan mental, syok septik, hepatitis, arthritis.

f. Penatalaksanaan
1. Medik
a) Isolasi pasien, desinfeksi pakaian.
b) Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal kembali.
c) Diet, makanan harus mengandung cairan, kalori dan tinggi protein, tidak mengandung banyak serat dan tidak menimbulkan banyak gas.
d) Obat pilihan yaitu Kloramfenikol dengan dosis tinggi 100 mg l kg BB / hari ( maksimum 2 gr / hari ) diberikan 4 kali sehari peroral atau intravena.
e) Bi1a terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. ( Ngastiyah, 1997 :158 - 159 ).
2. Keperawatan
Penyakit demam tifoid adalah penyakit yang menular melalui feses dan urin dan disebarkan oleh lalat, karena itu pasien harus dirawat dalam kamar yang terisolasi, dilengkapi peralatan untuk merawat pasien yang menderita penyakit menular tersebut, seperti : desinfektan dan yang merawat pasien agar memakai celemek. Masalah yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan cairan dan nutrisi, serta elektrolit, suhu tubuh, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi komplikasi dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit. (Nursalam, 2005 : 159)
Menurut Suriadi (2006) Penatalaksanaan medis yang lain :
- Isolasi, disenfeksi pakaian dan ekskreta
- Tirah baring total selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya berdiri dan berjalan.
- Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein, tidak boleh mengandung serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas.
- Obat terpilih adalah kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari.

g. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan uji serologis : dengan tes widal yang mengukur antoibodi aglutinasi terhadap antigen O dan H.
2. Pemeriksaan isolasi kuman : Dilakukan biakan dari berbagai macam tempat tubuh (Soegijanto, Soegeng. 2002 : 27 – 29)

Menurut Suriadi ( 2006 ). Pemeriksaan penunjang pada demam tifoid adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan sumsum tulang - menunjukkan gambaran hiperaktif Sumsum tulang.
2. Biakan empedu : terdapat basil salmonella typhi pada urin dan tinja. Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut - turut tidak didapatkan basil salmonella typhi pada urin dan tinja, maka klien dinyatakan betul - betul sembuh.
3. Pemeriksaan widal didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah satu per dua ratus atau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi tetapi tidak bermakna untuk menegakkan diagnosis karena titer H dapat tetah tinggi setelah dilakukan imunisasi.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan Kasus Demam Tifoid
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. (Nursalam, 2001 : 17).
Pengkajian pada kasus demam tifoid adalah sebagai berikut :
a. Identitas klien
Umur, jenis kelamin, usia, tempat tinggal. Menurut sumber, penyakit demam tifoid yang sering terjadi pada pasien anak adalah berusia di atas satu tahun. ( Ngastiyah, 1997 : 155)
b. Keluhan Utama
Demam ± 7 hari, tidak nafsu makan, mual dan muntah serta perasaan tidak enak di perut. ( Mansjoer, Arif 2001; 422 ).
c. Riwayat kesehatan sekarang,
Demam yang berlangsung lebih kurang tujuh hari pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. ( Nursalam, 2005 : 154)
d. Riwayat kesehatan keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah diderita oleh keluarga pasien selain penyakit demam tifoid
e. Riwayat kesehatan dahulu
Menanyakan pada keluarga pasien mengenai penyakit yang diderita sekarang pernah dialami atau tidak.
f. Riwayat anak
1) Masa Prenatal
Masa janin, dimana ibu memeriksakan kehamilannya, berapa kali memeriksakan kehamilan pada trimester I, II, dan ke III serta dimana tempat memeriksakan kehamilannya, apakah dipuskesmas, bidan, atau dokter.
2) Masa Intra - Natal
Dimana tempat pada saat ibu melahirkan, apakah ditolong oleh bidan atau dokter rumah sakit, Apakah melahirkan dalam keadaan normal.
3) Masa Post - Natal
Masa setelah melahirkan, berapa berat badan lahir hayi , Berapa panjang badan bayi, apakah lahir dalam keadaan cacat atau tidak.
g. Riwayat Imunisasi
Perawat menanyakan kepada orang tua pasien apakah pemberian imunisasinya lengkap atau tidak, kalau belum lengkap imunisasi apa saja yang belum diberikan dan imunisasi apa yang sudah diberikan.
h Riwayat Tumbuh Kembang
Pada pasien anak dengan demam tifoid akan terhambat pertumbuhannya pada tinggi dan berat badan karena pasien mengalami anoreksia, lidah kotor, mual dan muntah, serta meteorismus. Sehingga nutrisi tidak bisa masuk secara adekuat kedalam tubuhnya. Masalah perkembangan yang dialami mengakibatkan menurunnya kemampuan yang dimiliki. Seperti terbatasnya rentang gerak, genggaman tangan yang kurang kuat, refleksnya menurun, ADLnya dibantu oleh orang tua, tidak dapat mempertahankan keseimbangan berjalan dan aktivitas bersosialisasi serta interaksinya seperti bermain dan belajar terhambat. Hal tersebut berhubungan dengan bakteri Salmonella Typosa yang berkembang biak didalam tubuh melalui aliran darah sistemik
i. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada kasus demam tifoid menurut pola Gordon.
1. Pola persepsi kesehatan
Menggambarkan persepsi pasien dan penanganan kesehatan dan kesejahteraan.
DS : Alasan masuk rumah sakit, riwayat medik dan sosial, harapan pemberi perawatan kesehatan, pengobatan saat ini yang tidak berhubungan dengan diagnosa saat masuk rumah sakit, persepsi klien tentang status kesehatan dan kesejahteraan
DO : Pengamatan umum, hitung sel darah putih, kemampuan menyusun tujuan : pengetahuan tentang praktik kesehatan, hygiene, dan umur.
Menurut Nursalam, (2005):
DS : Pasien / Orang tua pasien pada umumnya mengatakan suhu tubuh anaknya meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari
DO: Anak tampak lemah dan berbaring dengan tenang ataupun gelisah.


2. Pola nutrisi metabolik
Menggambarkan masukan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit , kondisi kulit, rambut dan kuku.
DS : Masukan lemak / masukan natrium, nafsu makan, masalah dengan makan, menelan dan pencernaan, mual, perawatan rutin, pengamatan terhadap rambut, kulit, kuku dan mulut. Makanan yang alergi, perubahan berat badan, makanan kesukaan.
DO : Diet yang dianjurkan, kemampuan menelan, muntah, masukan dan keluaran.
Menurut Suriadi, dkk ( 2006)
DS : Pasien / orang tua pasien pada umumnya mengatakan bahwa anaknya tidak mau makan perasaan tidak enak diperut, mual dan muntah.
DO : Anak tidak mau makan dan selalu memuntahkannya.
3. Pola eliminasi
Menggambarkan pola fungsi sekresi usus, kandung kemih dan kulit.
DS : Frekuensi, nokturia, karakteristik keluaran urin yang biasa, masalah berkemih, pola masukan cairan, infeksi Saluran kencing, frekuensi dan karakteristik feses yang biasa, masalah dengan konstipasi / diare.
DO : Jumlah urin, warna, bau, berat jenis, jumlah feses, warna dan
konsistensi. Kandung kemih teraba masukan dan keluaran, abdomen lemas, distensi, nyeri tekan, bising usus.
Menurut Nursalam, ( 2005 ) :
DS : Pasien / orang tua pasien pada umumnya mengatakan bahwa anaknya tidak bisa berak ( konstipasi ) tetapi mungkin normal bahkan juga terjadi diare.
DO : Anak tampak diare / konstipasi
4. Pola aktivitas
Menggarnbarkan pola latihan dan aktivitas fungsi pernapasan dan sirkulasi.
DS : Napas pendek saat latihan, riwayat asma, pola latihan yang biasa dilakukan, aktivitas diwaktu luang, aktivitas sejak sakit keterbatasan aktivitas sehari - hari, kecukupan energi untuk melakukan aktivitas.
DO : Frekuensi, kedalaman, dan irama pernapasan, bunyi nafas, rentang gerak, kekuatan, postur, genggaman tangan, refleks, masalah berjalan, kemampuan melakukan aktivitas sehari - hari, makan, mandi, buang air, keseimbangan berjalan.
Menurut Suriadi, dkk ( 2006).
DS : Pasien / orang tua pasien pada umumnya mengatakan bahwa aktivitasnya selalu dibantu orang lain berhubungan dengan keadaan lemah dan lesu.

DO : Aktivitas paien selalu dibantu orang lain.
5. Pola tidur - istirahat
Menggambarkan pola tidur istirahat dan persepsi tentang tingkat energi.
DS : Kebiasaan lama tidur, istirahat untuk aktivitas sehari -hari, keluhan mengantuk, mengeluh letih, tidur rutin.
DO : Waktu tidur / tidur siang yang diamati sering menguap lingkaran gelap di bawah mata, ptosis kelopak mata, rentang perhatian.
Menurut Nursalam (2005)
DS : Pasien / orang tua pasien pada umumnya mengatakan suhu tuhuh anaknya meningkat sehingga tidur dan istirahatnva terganggu.
DO : Anak tampak selalu menguap.
6. Pola kognitif- perseptual
Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecapan, perabaan, penghidu, tingkat persepsi nyeri, bahasa memori dan pengambil keputusan.
DS : Masalah sensori dan perseptual ; pendengaran, penglihatan, peraba, penghidu, dan pcngecapan, tingkat pendidikan, pcrsepsi nyeri dan penanganan nyeri, pemakaian alat bantu dengar atau kacamata, kehilangan bagian tubuh atau fungsinya.
DO : Kemampuan melihat, mendengar, menghidu, merasakan, tingkat kesadaran, aktivitas kejang, kemampuan untuk mengikuti, kemampuan mengambil keputusan, memperlihatkan kesadaran bagian - bagian tubuh yang akurat.
Menurut Nursalam (2005)
DS : Pasien / orang tua pasien pada umumnya mengatakan indera pengecapannya terganggu sehingga tidak mau makan.
DO : Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan.
7. Pola persepsi diri / konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan.
DS : Sikap tentang diri, dampak sakit terhadap diri, keinginan untuk mengubah diri, gugup atau relaks, merasa tak berdaya.
DO : Postur tubuh, kontak mata, ekspresi wajah, isyarat - isyarat non verbal perubahan harga diri, ekspresi wajah.
8. Pola peran huhungan
Menggambarkan keefektifan peran dan hubungan dengan orang tua, saudara dan teman-temannya di rumah.
DS : Keefektifan hubungan dengan orarng tua, efek perubahan peran terhadap hubungan kepada saudara dan tema-temannya di rumah.
DO : Interaksi yang diamati, tingkah laku yang pasif / agresif terhadap orang lain
9. Pola seksualitas reproduksi
Menggambarkan rnasalah yang berhubungan dengan seksualitas.
DS : Dampak sakit terhadap seksualitas, pemeriksaan payudara pruritus, riwayat penyakit lainnya.
DO: Pemerikasaan payudara, pemeriksaan testis, pemeriksaan genetalia, lest, drainase.
10. Pola koping - toleransi stress
Menggarnbarkan kemampuan untuk menangani stress dan penggunaan sistem pendukung dari orang tua.
DS : Stressor pada tahun lalu, metode koping yang biasa digunakan, penggunaan obat resep dokter dan obat ilegal untuk mengatasi stress, sistem pendukung, efek penyakit terhadap tingkat stress.
DO : Interaksi dengan orang tua, pergerakan kinetik, menangis, bersuara, ekspresi, tidak ada kontak mata, berjalan bolak balik.
11. Pola nilai - kcpcrcayaan
Menggambarkan sistem spritual, nalar dan kepercayaan.
DS : Agama, sprituralitas, kegiatan keagamaan dan budaya.
DO: Mencari bantuan spiritual, bukti melaksanakan nilai dan
k epercayaan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan risiko tinggi (Doengoes, Marilynn. E, 1999: 8),
Diagnosa keperawatan yang timbul menurut Suriadi dan Yuliani ( 2000) adalah sebagai herikut :
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
d. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit.
Sedangkan menurut Ngastiyah ( 1997 ) diagnosa yang sering muncul sebagai berikut :
a. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme sekunder terhadap rangsangan sintesis dan pelepasan zat pirogen,
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya masukan cairan.
f. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit.
g. Cemas berhubungan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stress.
Dari kesimpulan di atas bahwa diagnosa yang dapat diangkat pada penyakit demam tifoid :
a. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
c. Hipertermi herhubungan dengan proses infeksi,
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
f: Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit.
g. Cemas berhubungan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stress. g. Cemas berhubungan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stress.



3. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu dokumen tulisan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi, perencanaan meliputi pengembangan strategi, desain untuk mencegah mengurangi atau mengoreksi masalah - masalah yang diidentifikasi pada diagnosa. ( Nursalam, 2001 :5 ).
Perencanaan yang dilaksanakan pada kasus demam tifoid ini diambil dari buku Rencana Asuhan Keperawatan (Doengoes, Marilynn. E, 1999) terdiri dari :
a. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan dan meningkatnya suhu tubuh.
Tujuan : Mempertahankan atau menunjukkan perubahan keseimbangan cairan, dibuktikan oleh haluaran urine adekuat, tanda-tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik
Dengan kriteria : Tidak menunjukkan tanda - tanda dehidrasi, pemasukan dan pengeluaran cairan seimbang.







Intervensi Rasional
1)



2)



3)


4)



5)
Anjurkan untuk sering minum
air.

Berikan perawalan mulut
sering.


Pantau tanda-tanda vital.


Pertahankan masukan dan
keluaran cairan.


Kolaborasi dengan tim medis
pemberian cairan IV. 1)



2)



3)


4)



5) Meminimalkan kehilangan
cairan dan menurunkan suhu tubuh.

Dehidrasi mengakibatkan
bibir kering dan pecah-
pecah.

Mengetahui perkembangan
klien.

Memberikan informasi ~
tentang kebutuhan cairan ~
tubuh.

Memberikan cairan untuk
mementthi kebutuhan.

b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan individu.
Dengan kriteria : Nafsu makan bertambah, berat badan tidak menurun 1agi, pasien lidak merasa mual dan muntah lagi


1.



2.


3.



4.



5.


Intervensi

Anjurkan pada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi sedikit tapi sering

Timbang berat badan setiap hari


Pertahanjan kebersihan mulut



Anjurkan istirahat sebelum makan


Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit

1.



2.


3.



4.



5. Rasional

Porsi kecil tapi sering mencegah rangsangan muntah

Memberikan informasi kebutuhan diet

Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan


Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan

Intake nutrisi yang adekuat mempercepat proses penyembuhan

c. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan endotoksin oleh kuman salmonella thyposa
Tujuan : Suhu tubuh kembali dalam batas normal
Demikian kriteria : Badan pasien tidak panas lagi, suhu tubuh normal 36 – 37 C


1.


2.



3.


4.


5.


Intervensi

Kaji penyebab demam


Obervasi tanda-tanda vital terutama suhu


Beri kompres hangat atau air biasa

Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat

Kolaborasi pemberian obat anti piretik

1.


2.



3.


4.


5. Rasional

Mempermudah tindakan selanjutnya

Mengetahui tingkat perkembangan klien


Pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi

Mencegah terjadinya peningkatan suhu tubuh

Untuk mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan suhu tubuh

d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi
Tujuan : Dapat beristirahat yang cukup dan mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dan menurunkan suhu tubuh kembali dalarn batas.
Dengan kriteria : Pasien bisa tidur dengan tenang, suhu tubuh dalam batas normal



1.


2.



3.


4.


5.


Intervensi

Tentukan kebiasaan tidur dan perubahan yang terjadi

Berikan suasana yang tenang dan nyaman


Dukung kelanjutan kebiasaan sebelum tidur

Kurangi kebisingan di ruangan


Berikan tingkat regimen kenyamanan waktu tidur (minum susu hangat)

1.


2.



3.


4.


5. Rasional

Mengidentifikasi intervensi yang tepat

Suasana tenag memberikan kenyamanan dan rasa nyaman

Meningkatkan relaksasi dan kesiapan tidur

Memberikan situasi kondusif untuk tidur

Meningkatkan efek relaksasi dan membantu pasien tidur lebih lama

e. Intoleransi aktivitas berhubungan kelemahan fisik
Tujuan. : Menunjukkan perilaku yang memampukan kembali melakukan aktivitas.
Dengan kriteria : Pasien tidak merasa lemah, pasien sudah dapat melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain.


1.




2.



3.



4.

Intervensi

Tingkatkan tirah baring /duduk, berikan lingkungan tenang



Ubah posisi dengan sering



Pertahankan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat


Hindari aktivitas yang berlebihan

1.




2.



3.



4.

Rasional

Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan

Perubahan posisi dapat membantu menghilangkan kekakuan otot

Memperbaiki pertahanan tubuh dan meningkatkan proses penyembuhan

Untuk mempercepat proses penyembuhan

f. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penyakit.
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
Dengan kriteria : Orang tua pasien mengerti setelah diberikan penjelasan tentang proses penyakit.




1.





2.





3.


4.


Intervensi

Kaji kesiapan orang tua mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang penyakit dan perawatan anaknya


Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan aktivitas

Jelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan

Berikan penjelasan tentang pentingnya hidup bersih dan lingkungan yang bersih

1.





2.





3.


4.


Rasional

Efektifitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang pengetahuan sebelumnya

Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi orang tua tentang proses perawatan anak

Meningkan pemahaman dan partisipasi keluarga

Lingkungan yang bersih dapat mengurangi timbulnya penyakit

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2001 : 63)
Pelaksanaan dilakukan sesuai dengan intervensi yang diharapkan demi tercapainya keberhasilan dalam asuhan keperawatan dengan basil yang memuaskan baik bagi pasien, keluarga, perawat atau dokter.
Pelaksanaan pada pasien dengan demam tifoid menurut Ngastiyah (1997)
1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian.

2. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu tubuh normal kembali.
3. Diet, makanan harus mengandung cairan, kalori dan tinggi protein, tidak mengandung banyak serat dan tidak menimbulkan banyak gas.
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan sudah berhasii dicapai (Nursalam, 2001:71). Evaluasi yang dapat diambil dari proses keperawatan adalah sehagai berikut :
a. Suhu tubuh pasien kembali dalam batas normal.
Dengan kriteria : l. Badan pasien tidak panas lagi.
2. Suhu tubuh normal 36 -37 C.
b. Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Dengan kriteria : 1. Nafsu makan pasien bertambah.
2. Pasien tidak merasa mual dan tidak muntah lagi.
3. Berat badan tidak menurun lagi.
c. Pola tidur dapat terpenuhi
Dengan kriteria : 1. Pasien bisa tidur dengan tenang
2. Suhu tubuh dalam batas normal
d. Klien dapat beraktivitas seperti biasa
Dengan kriteria : 1. Pasien tidak merasa lemah lagi
2. Pasien sudah dapat melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain

e. Resiko kekurangan volume cairan dapat teratasi
Dengan kriteria : 1. Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi
2. Pemasukan dan pengeluaran cairan seimbang
f. Defisit pengetahuan orang tua terhadap anaknya dapat terpenuhi
Dengan kriteria : 1. Orang tua pasien mengerti setelah diberikan penjelasan tentang proses penyakit

6. Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian integral proses bukan sesuatu yang berbeda dari metode problem solving. Dokumen proses keperawatan mencakup kajian identifikasi masalah, perencanaan dan tindakan. Perawat kemudian mengobservasi dan mengevaluasi respon pasien terhadap tindakan yang diberikan dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada tenaga kesehatan lainnya (Nursalam, 2001 : 79 ).

Jumat, 16 Juli 2010

Askep Gagal jantung

1.      Pengertian Gagal jantung

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metebolisme jaringan. (Ruhnayudin, Faqih. 2007: 87)

Gagal jantung adalah keadaan jantung sebagai pompa untuk memenuhi secara adekuat metabolisme tubuh keadaan ini dapat disebabkan oleh karena gangguan primer otot jantung atau beban jantung yang berlebihan atau kombinasi keduanya. (www.astaquliyah.com kamis, 03 Juni 2010, 09.00 WITA)

Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja tetapi kekuatan atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung bisa menyerang  jantung bagian kiri, bagian kanan atau keduanya. (www.sahabatginjal.com kamis, 03 Juni 2010, 09.00 WITA).

Gagal jantung adalah suatu keadaan ketika jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian vena normal. Namun, definisi-definisi lain menyatakan  bahwa gagal jantung bukanlah suatu penyakit yang terbatas pada suatu sistem organ, melainkan suatu sindrom klinis akibat kelainan jantung yang ditandai dengan suatu bentuk respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal serta suatu keadaan patologis dimana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhinya dengan meningkatkan tekanan pengisian. (Muttaqin, Arif. 2009: 196)

2.      Etiologi

Menurut Smeltzer, Suzanne (2001) etiologi gagal jantung yaitu:

a.       Kelainan Otot Jantung, gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.

b.      Aterosklerosis Koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis(akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.

c.       Hipertensi Sistemik atau Pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan terjadinya hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi  karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan yang tidak jelas hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal dan akhirnya akan terjadinya gagal jantung.

d.      Penyakit Jantung Lain,  gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara langsung tidak mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (misalnya stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya tamponade perikardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis katup AV). Peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi maligna) dapat menyebabkan gagal jantung meskipun tidak ada hipertropi miokardial.

e.       Faktor Sistemik. Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam, tirotoksiskosis), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis (resiratorik atau metabolik) dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Disritmia jantung yang dapat terjadi dengan sendirinya atu secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.

Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, atau penyakit jantung kongenital). Faktor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotosikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif. (Mansjoer, Arif. 2001: 434).

Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya:atrial fibrillation), emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat. Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama:

a.       Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).

b.      Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).

c.       Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.

d.      Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).

e.       Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikardium atau efusi perikardium (tamponade).

f.       Kelainan kongenital jantung.

(http://snapshots/KONSULTASI_DOKTER_ON.ted, kamis 3 Juni 2010, 09.00WITA)

3.      Klasifikasi Gagal Jantung

Menurut Mansjoer (2001: 434) berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif.

Menurut New York Heart Assosiation (Mansjoer, Arif. 2010:  434-435)  membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas:

Kelas 1. Bila pasien bisa melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas 2. Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari   aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas 3. Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas 4. Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:

1.      Paroxismal Nocturnal Dispneu

2.      Distensi vena leher

3.      Ronkhi paru

4.      Kardiomegali

5.      Edema paru akut

6.      Gallop S3

7.      Peninggian tekanan vena jugularis

8.      Refluks hepatojugular

Kriteria minor:

1.      Edema ekstremitas

2.      Batuk malam hari

3.      Dispneu de effort

4.      Hepatomegali

5.      Efusi pleura

6.      Takikardi

7.      Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal

Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria  minor harus ada pada saat yang bersamaan.

4.      Mekanisme Kompensasi Gagal Jantung

Mekanisme adaptive atau kompensasi jantung dalam merespon keadaan yang menyebabkan kegagalan jantung tersebut antara lain:

 

 

a.    Mekanisme Frank-Starling

Mekanisme frank-starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan volume ventrikular end-diastolic. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung. Lebih optimal pada filamen aktin dan miosin, dan resultannya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme frank-starling mencocokan output dari dua ventrikel.

Pada gagal jantung, mekanisme frank-starling membantu mendukung cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan peningkatan volume ventrikular end-diastolik dan mekanisme frank-starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif jika jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang berlebihan.

Hal  penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung adalah ketegangan dari dari dinding ventrikular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung.

 

 

b.    Mekanisme Renin-Angiostensin-Aldosteron

Salah satu efek yang paling penting dalam menurunnya cardiac output dalam gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dengan  meningkatkan retensi air.

c.    Peptida natriuretic dan subtansi vasoaktif  yang diproduksi secara lokal. Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP), brain neuretic peptide (BNP) dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP  dihasilkan dari sel atrial sebagai respon meningkatkan  ketegangan tekanan atrial.

d.   Hipertrofi Otot Jantung dan Remodeling

Perkembangan hipertrofi otot jantung  dan remodeling merupakan salah satu mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor resiko yang penting bagi morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling menyebabkan perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan diastolik). Ada dua tipe hipertrofi, yaitu yang pertama concentric hypertrophy, terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh hipertensi. Kedua eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh dilated cardiomyopathy. (http://snapshots/situs_gagal_jantung.ted. kamis, 10 Juni 2010, 20.00 WITA)   

5.      Patofisiologi

Beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi menimbulkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar ketokolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung.

Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) kedalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertropi, takikardi dan redistribusi cairan tubuh merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh.

Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diatas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam tubuh belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.

Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastol dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akibat kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terus terjadi juga di paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dala sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi akan terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan.

Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel menurun tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan  volume akhir diastole ventrikel kanan  akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada  vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibtnya (tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut maka akan terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau edema tungkai bawah dan asites. (http://snapshots/masdanang.co.ted senin, 07 Juni 2010, 15.24 WITA).


1.      Manifestasi Klinis

Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Gejala yang timbul pun berbeda sesuai dengan pembagian tersebut.

Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort, fatiq, ortopnea, dispnea nokturnal paroksimal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventrikular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernapasan cheynestrokes, takikardi, pulsus alternans, rongki dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatiq, lever engogement, anoreksi dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, edema fitting. Sedang  pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. (Mansjoer, Arif. 2001: 434)

2.      Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2001: 435-437) prinsip penatalaksanaan gagal jantung adalah:

a.       Meningkatkan oksigenasi pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat dan pembatasan aktivitas

b.      Memperbaiki kontraktilitas otot jantung

1)   Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan aritmia.

2)   Digitalis, digoksin, cedilanid

c.       Menurunkan beban jantung

1)      Diit rendah garam

2)      Diuretik: furosemid ditambah kalium

3)      Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE), Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid

d.      Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.

3.      Pemeriksaan Penunjang

a.      Elektrokardiografi (EKG): didapatkan gambaran perpanjangan interval QRS karena perubahan massa otot ventrikel yang akan meningkatkan lama aktivitas ventrikel. Meningginya gelombang R karena peningkatan massa otot jantung yang dilalui potensial listrik. Adanya massa otot yang semakin menebal maka kesempatan repolarisasi akan diberikan pada endokardium terlebih dahulu. Keadaan ini akan mengakibatkan gambaran RS-T mengalami depresi dan gelombang T terbalik pada sadapan 5 dan 6. Pada sadapan 1 dan 2 tampak adanya gambaran gelombang S yang sangat dalam dan didapatkan gelombang R yang meninggi melebihi 20 mm.

b.      Sonogram (Ekokardiogram) dapat menunjukan dimensi pembesaran venrikel, perubahan dalam fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktilits ventrikuler.

c.      Kateterisasi jantung: tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan maupun kiri dan stenosis mitral maupun insufisiensi.

d.     X-ray thoraks: ditemukan adanya pembesaran jantung yang disertai adanya pembendungan cairan di paru karena hipertensi pulmonal. Tempat adanya infiltrat precordial kedua paru dan efusi pleura.

e.      Laboraturium secara umum dapat ditemukan penurunan Hb dan Hematokrit karena adanya hemodelusi. Jumlah leukosit meningkat, bila sangat meninggi mungkin disebabkan oleh adanya infeksi endokarditis yang akan memperberat jantung. Keadaan asam basa tergantung pada keadaan metabolisme, masukan kalori, keadaan paru dan fungsi ginjal. Kadar natrium darah sedikit menurun walaupun kadar natrium total bertambah. Berat jenis urine meningkat dalam kongesti hepar. Gagal  ventrikel kiri ditandai  alkalosis respiratorik ringan atau hipoksia dengan peningkatan pCO2. BUN dan kreatinin menunjukan penurunan perfusi ginjal. Albumin/transferin serum mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti, kecepatan sedimentasi menunjukan adanya inflamasi akut.

f.       Ultrasonografi (USG) didapatkan cairan bebas di dalam rongga abdomen, dan gambaran pembesaran hepar dan lien. Pembesaran lien dan hepar kadang sulit diperiksa secara manual  saat disertai asites. (Ruhyanudin, Faqih. 2007: 96-97)